Jika ingin beli sesuatu jangan percaya buzzernya, apalagi buzzer blunder. Mengapa? Karena dia adalah salesman/woman alias tenaga pemasar dari sesuatu itu. Mana ada sih tenaga pemasar menjelek-jelekkan barangnya sendiri?
Sebelum membicarakan intinya, saya ingin mempermasalahkan kata ‘blunder’ yang tidak ada di KBBI. Kata ini sering digunakan dan beberapa kali saya temukan di media cetak, nasional lagi, biasanya saat mengulas perihal permainan catur. Meskipun sering digunakan, blunder ternyata tetap dianggap bahasa asing. Buktinya, kata itu belum masuk KBBI. Blunder yang merupakan kata dari Bahasa Inggris yang berarti kesalahan besar atau membuat kesalahan besar rupanya nasibnya seperti ‘nganu‘ yang sering dipakai tetapi tidak pernah diakui. Eh. Bagaimana dengan buzzer blunder? Hnah, mari kita mulia membicarakan buzzer.
Beberapa waktu lalu perihal buzzer sempat ramai diperbincangkan di galurwaktu Twitter. Pro-kontra terjadi terhadap profesi buzzer. Istilah buzzer yang awalnya mengacu pada perangkat sinyal audio kemudian digunakan untuk orang-orang yang dibayar untuk melakukan kampanye pemasaran. Buat saya, sah-sah saja memilih menjadi buzzer. Itu sebuah profesi. Siapapun boleh memilih dan tidak memilih. Bagi yang memilih menjadi buzzer, pilihannya pasti benar. Yang berprofesi sama akan juga menganggapnya demikian. Profesi koruptor (kalau ini bisa dianggap sebagai profesi) saja dikatakan benar, oleh koruptor lain tentunya. Untuk yang memilih tidak menjadi buzzer, mereka tentu memiliki alasan sendiri.
Saya menghargai mereka yang menjadikan buzzer sebagai profesi. Buzzer itu mulia kok, halal, dan bisa diandalkan sebagai sumber penghasilan. Itulah sebabnya buzzer bisa disebut sebagai sebuah profesi. Karena buzzer itu profesi, sebagaimana profesi lain, tentunya sebaiknya tidak abai dengan yang namanya etika profesi. Saat seorang tweep menjadi buzzer kemudian ‘kalap’ berkicau tentang produk perusahaan yang membayarnya, di antara pengikutnya entah sedikit maupun banyak tentunya akan merasa terganggu. Upah yang diterima bukan berarti menjadi paspor baginya untuk berkicau sesuka-suka di galurwaktu. Apalagi jika kemudian berkicau seolah-olah produk tersebut sempurna tanpa cacat tetapi kentara dibuat-buat, dijamin!, kicauannya itu akan bercita rasa memuakkan. Bila kita kebetulan sedang berperan menjadi buzzer, berempatilah. Galurwaktu itu bukan milik kita. Dia ibarat ruang publik semacam taman bermain yang penikmatnya bukan kita seorang. Saat seekor anjing berak di situ, semua penghuni taman akan merasakan ketidaknyamanan yang timbul. Lebih-lebih bila kita yang buang hajat. Halah!
Saya juga merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang eneg dengan perilaku buzzer yang lebih peduli urusan komersial dibandingkan berempati pada para pengikutnya yang ketiban sial karena dicekokin kicauan sampah bergumpal-gumpal. Saya tidak apriori atau kontra kepada Anda yang memilih menjadi buzzer, karena saya sendiri kadang-kadang juga menjadi buzzer meskipun lebih sering tidak dibayar. Kewajiban buzzer untuk bayaran yang diterima memang harus berkicau. Bahkan berapa kali mesti berkicau dan apa yang harus dikicaukan acapkali sudah ditentukan. Namun demikian, bukan berarti kemudian melupakan untuk tetap membuat nyaman pengikutnya yang memang lebih merupakan kewajiban moral. Jangan sampai pertemanan menjadi perdebatan yang lebih cocok disebut percekcokan gara-gara bombardir kicauan pemasaran di tengah taman. Konyolnya lagi jika kicauan pemasaran itu jelas-jelas memperlihatkan bahwa si buzzer asal berkicau, tidak menguasai produk, dan asal memenuhi kewajiban. Komplitlah penderitaan pengikutnya. Dan… itulah blunder yang dilakukan seorang buzzer.
Sekali lagi, bila ingin beli sebuah produk, jangan tanya buzzernya. Lebih-lebih bila dia buzzer blunder, tenaga pemasar pembawa masalah karena asal berkicau. Bertanyalah pada penggunanya karena mereka memang memakainya.
Sumber gambar: di sini
artikel ini keknya wajib di cc ke @triomacan2000 😀
ajibbbbbb dah
TOP!