Membaca karya Mochtar seperti memasuki ruang kuliah. Aura yang tertangkap seolah saya sedang belajar, dihadapi seorang ilmuwan. Pilihan kata dan cara bertutur mengingatkan saya pada seorang dosen yang sedang mengisahkan kehidupannya melalui diksi yang cenderung “akademis” dan alur penceritaan yang sistematis. Burung-burung Cakrawala adalah sebentuk buku teks bercitarasa sastra.
Bila melihat isinya, buku ini merupakan sebuah memoar atau otobiografi yang mengisahkan perjalanan hidup penulis dari masa kecil saat tinggal di Barebba, sebuah desa berjarak tiga kilometer di sebelah Barat Bulukumba Sulawesi Selatan, hingga masa pendidikan doktornya di Universitas Hawaii, Manoa, Honolulu. Saya lebih suka menyebut Burung-burung Cakrawala sebagai sebuah otobiografi atau memoar saja, bukan novel otobiografis sebagaimana yang disebutkan Seno Gumira Ajidarma dan dua pemberi endorsement lainnya. Bagi saya, sangat membosankan dan monoton bila buku ini dikatakan sebagai novel karena tidak ada konflik yang dibangun. Selain itu, dari karakter-karakter yang ditampilkan dan yang saya tangkap, tidak ada tokoh fiktif di dalamnya. Mungkin saya keliru. Saya sendiri tidak mengkonfirmasi dugaan saya ini saat bertemu dengan penulis. Mochtar sendiri lebih suka menyebut bukunya sebagai kisah sejati.
Novel atau bukan, saya rasa bukan hal penting untuk diperdebatkan. Meski saya tidak deg-degan karena menikmati konflik yang dibangun penulis sebagaimana biasa ditemukan di dalam sebuah karya fiktif, Mochtar benar-benar hebat dalam merangkai serpihan deskripsi hingga tercipta sebuah narasi yang memukau. Mochtar mengatakan buku ini dia tulis sepenuh nafas dan intensitas sastra. Dia benar. Saya sangat merasakan itu. Walaupun tak ada ketegangan, penuturan naratifnya berhasil membuat saya terkagum-kagum. Emosi saya teraduk-aduk karenanya. Bahkan saat Bincang Buku yang diadakan Rumah Kata Indonesia pada 15 Desember 2013 di Padepokan Jazz Idang Rasjidi, saya tiba-tiba tergugu-gugu di tengah mengutarakan pendapat saya tentang buku tersebut. Saya tak sanggup meneruskan bicara. Saya menangis dan tak bisa menghentikan tangisan itu. Adegan yang dituturkan Mochtar begitu menyentuh. Ada tiga adegan yang berhasil menyentuh perasaan saya yaitu di halaman 202, 206, dan 348. Saat menceritakan kembali adegan yang terdapat di halaman 202 ketika Pilar (putra pertama) dan Yogas (putra kedua) berlari ke arah Mochtar yang menjemput mereka di bandara Boston, saya masih bisa berbicara dengan baik. Begitu saya kembali mau menceritakan adegan menyentuh kedua yang ada di halaman 206, tenggorokan saya mendadak sebu. Jeda sudah saya ambil namun tetap saja mulut ini mogok bicara. Akhirnya saya benar-benar menghentikan upaya melanjutkan bicara dan menyerahkan kembali kesempatan yang diberikan ke Khrisna Pabichara selaku pembawa acara. Hasrat saya untuk ngomong banyak hanya tinggal harapan. Sebegitu hebatnya Mochtar merangkai kata hingga berhasil mengunci mulut saya. Dan ini untuk pertama kalinya saya dibuat menangis saat mengulas buku. Saya telah di-KO secara gemilang oleh penulis Burung-burung Cakrawala. Malu hati ini. 😉
Karena saat itu saya tak mampu bicara, tulisan ini saya jadikan penyambung lidah saya yang kelu. Apa yang tak terucap dalam acara Bincang Buku akan saya lanjutkan di sini. Saya mulai dari titik di mana saya berhenti yaitu ketika ingin bertutur adegan menyentuh kedua yang ada di halaman 206. Fragmen di halaman itu yang mengisahkan alasan istri penulis, Nahdia, menyusul Mochtar ke Amerika adalah untuk mendekatkan anak-anak dengan ayahnya mengusik sentimen saya. Narasi penuh emosi di halaman 348 setali tiga uang. Kegundahan Nahdia sebagai seorang ibu kala memperingatkan Yogas yang saat itu berusia sembilan tahun untuk tidak melapor gurunya atas tindakan Mochtar mencubit karena kenakalannya membuat saya ikut merasakan kegundahan itu. Yogas yang menangis, Nahdia yang marah besar, dan kesedihan dan penyesalan Mochtar yang telah mencubit paha Yogas merupakan ramuan ampuh dalam mengaduk-aduk emosi. Yang terutama, sentuhan tangan emas Mochtar sebagai penulislah yang memungkinkan efek itu terjadi.
Saat membaca Burung-burung Cakrawala, kesan yang saya dapat bahwa Mochtar adalah orang baik terwakili oleh seorang tokoh bernama Carol. Di halaman 242, ucapan Carol, “You charmed them all, Mochtar. You charmed them,” menunjukkan betapa baik seorang Mochtar. Kesan itu juga saya tangkap saat bertemu untuk pertama kalinya di acara Bincang Buku.
Sadar atau tidak, buku ini mendekatkan saya pada sosok yang bernama Mochtar Pabottingi. Sebelum membaca Burung-burung Cakrawala, saya tidak tahu siapa dia. Bukannya dia tidak populer, sayalah yang kurang informasi. Dari buku yang dia tulis itu, saya bisa menakar seberapa hebat dia dengan melihat siapa saja yang pernah bersentuhan dengannya baik secara langsung maupun tidak. Bila seseorang berkawan dengan W.S. Rendra, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Ignas Kleden, Taufiq Ismail, Arifin C. Noer, Sapardi Djoko Damono, Goenawam Mohamad, Widjojo Nitisastro, Nurcholish Madjid, Hamsad Rangkuti, Daniel Dhakidae, Parakitri, Koentjaraningrat, Selo Sumardjan, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir, dan masih banyak lagi tokoh nasional lainnya, ditambah lagi dengan jenjang pendidikan S2 dan S3 yang dia peroleh di Massachusetts dan Honolulu, siapa yang akan meragukan kualitas orang seperti ini? Burung-burung Cakrawala berbicara banyak tentang siapa Mochtar Pabottingi beserta kualitas dia.
Bila buku ini saya sebut buku teks, memang demikianlah adanya. Setidaknya itu yang saya rasakan. Selain bertutur perjalanan hidup Mochtar, Burung-burung Cakrawala bisa menjadi media belajar untuk mereka yang sedang berburu beasiswa dan akan meneruskan pendidikan tinggi khususnya di Amerika. Buku ini juga mengisahkan bagaimana menyiasati hidup di negeri orang, yang bisa dijadikan acuan bagi pembacanya yang akan menjalani hidup dan belajar di Negeri Paman Sam.
Secara keseluruhan, Burung-burung Cakrawala cukup menarik untuk dinikmati. Hanya saja ada beberapa hal yang mengganggu meskipun masih bisa ditolerir dan dimaklumi. Perpindahan sudut pandang penceritaan dari penutur pertama ke penutur ketiga awalnya saya pikir sebuah kesalahan saat saya temukan pertama kali di halaman tujuh. Penggunaan kata “Mochtar kecil” di awal paragraf keempat dan penggunaan kata ganti “Dia” di baris keempat dan keenam dalam paragraf yang sama mengusik kenyamanan saya membaca. Saya kemudian menyimpulkan itulah gaya bertutur Mochtar setelah perpindahan sudut pandang dari orang pertama ke orang ketiga lalu kembali ke orang pertama lagi saya dapati di halaman 12, 21, 46, 80, 83, 188, dan 245. Setelah halaman 245, perpindahan sudut pandang mungkin masih dilakukan karena setelah halaman itu saya tidak lagi meneruskan mencatat halaman di mana perpindahan sudut pandang terjadi. Ya, itu memang gaya dan hak dia sebagai penulis. Tapi itu mengganggu kenyamanan saya sebagai pembaca.
Kesalahan sepele yang harusnya tidak terjadi adalah kesalahan tulis. Yang saya temukan misalnya kata “tamping” yang semestinya “samping” bila dilihat dari konteks kalimatnya di halaman 12 baris keempat. Awalan “di” dalam kata “didambakan” yang diperlakukan sebagai kata depan sehingga ditulis “di dambakan” di halaman 97. Kata “Alfian” ditulis dua kali di paragraf pertama halaman 152. Kata “ataupun” harusnya ditulis “atau pun” di paragraf keempat halaman 193. Penggunaan awalan “ter” (superlatif) dalam “terindah” yang kurang tepat. Awalan “ter” yang berarti paling, lebih mengacu pada satu hal, bukan banyak. “Ter” yang menempel dalam kata “terindah” dalam kalimat di halaman 262 “… Honolulu juga adalah salah satu kota terindah di dunia, …” saya rasa kurang tepat. Lebih pas bila kalimat itu menjadi “… Honolulu juga adalah salah satu kota yang sangat indah di dunia, …”.
Walaupun ada ketidaknyamanan dalam membaca dikarenakan sudut pandang yang digunakan penulis dan terdapat beberapa kesalahan, tekad Mochtar untuk bertutur secara indah dan benar sebagaimana yang dia sampaikan dalam Bincang Buku saya temukan dan rasakan di Burung-burung Cakrawala. Selain itu, buku ini juga menggambarkan kecintaan Mochtar terhadap negaranya serta tekad dia membuat anak-anaknya juga mencintai negara dan bangsanya. Tekad itu tergambar dalam paragraf kedua dan ketiga halaman 368. Cinta dan tekad Mochtar ini sungguh menular. Saya jadi merasa lebih mencintai Indonesia beserta bangsanya. Dia memprovokasi saya lewat Burung-burung Cakrawala, sebuah buku teks bercitarasa sastra. Saya yakin, pembaca lain akan mengalami juga.
Sumber gambar: koleksi pribadi dan dari @utamiutar
inspiring
@utami utar: absolutely right. 🙂