Karena menemani, saya harus ikut. Bila menuruti kata hati, pengennya tinggal di rumah. Waktu membayangkan berpanas-panasan naik angkotnya, maunya tiduran di kamar sambil mendengarkan Il Divo. Saat merasakan capenya antri, bangku yang ada di teras rumah yang terbayang di kepala. Sebentar, sebentar. Ini apa sih maksudnya? Kok nggak jelas gitu. Kalau anak-anak BEC suka bilang, ”Eddy Sud Rahmat Kartolo. Maksud loh?”
Hari Minggu. Hari Minggu kemarin (28/1). Saya menemani Reyhan dan maknya main ke BS (Botani Square). Katanya mereka pengen ke Giant. Saya sendiri beberapa hari sebelumnya pernah ke BS, tapi Giant-nya sendiri belum pernah. Setelah minggu sebelumnya nggak jadi, maka hari Minggu kemarin dengan kondisi apapun akhirnya dijadikan. Sampai segitunya ya. Walaupun Izal kemudian nggak ikut karena marah-marah, seperti biasa, hanya karena urusan sepele, disuruh naruh celana di tempat jemuran. Hanya bertiga yang kemudian berangkat ke BS.
BS ini merupakan mal terbaru untuk saat ini. Entah bertahan berapa lama lagi sebelum muncul mal yang lain di Bogor. Setiap kali muncul tempat ngeceng baru, seperti gula bagi semut-semut di sekitarnya. Berbondong-bondong untuk sekedar cuci mata dan cuci muka bagi yang tampangnya kusut. Launchingnya sendiri mungkin sudah sebulanan yang lalu. Biasa, karena kesibukan dan juga sebenarnya tidak begitu tergerak hati untuk datang ke mal tersebut, saya baru datang setelah sekian minggu dibuka. Itupun lebih karena Gramedia buka outlet baru di mal tersebut dan memberikan diskon sampe 30% yang terbatas waktunya. Karena nguber diskon yang jarang diberikan segede itu oleh Gramedia lah yang menggiring saya untuk menginjakkan kaki ke BS. Here I come BS.
Gedung BS ada di dekat tugu kujang yang menjadi landmark-nya Bogor, juga dekat terminal bis Baranangsiang. Proses pembangunannya yang sempat kontroversial justru menjadikan publikasi gratis bagi BS sendiri. Demo yang dulu dilakukan mahasiswa IPB dan komponen masyarakat lainnya untuk menentang pendirian mal tersebut karena didirikan di lahannya dunia pendidikan tidak mempengaruhi keputusan rektornya. Alasan mengkomersialkan kampus juga tidak dianggap suatu hal yang perlu didengar. Sang rektor tetap keukeuh memberikan lahannya untuk investor. Sekali lagi, uang lebih keras bicaranya daripada ribuan warga Bogor yang melakukan demo. Kalau anda baca bukunya Henry Ford ’The International Jew’, seperti pendirian mal itulah yang merupakan contoh konsep Zionis meninabobokan musuhnya ke dalam kubangan hedonisme. Kaun Yahudi, meskipun minoritas, merupakan penguasa mayoritas terhadap uang yang beredar di seluruh dunia. Dengan menggunakan kekuatan uangnyalah dia bisa mengatur jalannya kehidupan seperti yang diinginkan, bahkan untuk kehidupan sebuah negara. Contoh gampang saja tentang Amerika Serikat. Siapa yang ada di balik segala keputusan yang dikeluarkan oleh Gedung Putih?
Saya ternyata sudah ada di dalam BS. Rupanya Zionis dan kelakuannya tadi merupakan lamunan yang lewat di benak saya. Tujuan utamanya adalah jalan-jalan. Jadi, ketika masuk ke Giant yang dibeli tidak seberapa. Sebelum ke tempat tersebut saya bertiga menikmati makan siang dulu di A&W. Ada dan hanya satu yang merupakan favorit saya di restoran fastfood tersebut, root beer float. Minuman tersebut mempunyai kenangan ketika saya tinggal pertama kalinya di Jakarta tahun 1992. Sudah bisa dipastikan minuman itu yang selalu saya beli bila mampir di A&W di manapun berada.
Selesai keliling di Giant dan mengambil barang-barang yang perlu dibeli, kami ke kasir. Alamak, antrinya. Saya sarankan, kalau tidak perlu-perlu amat atau kecuali anda hobi antri, jangan belanja di Giant pada hari Minggu (bisa jadi hari libur juga) apalagi pas tanggal muda atau orang habis gajian. Sengsara. Saya lihat ada 40 counter kasir, tapi tidak semuanya dibuka. Untungnya tadi sebelum belanja sempat makan siang dulu. Meskipun kaki leklok mengantri, perut nggak keroncongan.