Hari ini di depan Istana Presiden Bogor saya menemukan serombongan orang yang membawa berbagai macam tulisan yang isinya sebagian besar berupa kecaman. Mereka sedang melakukan demo seperti yang dilakukan di tempat lain di negeri ini. Dengan garang mereka meneriakkan ketidakpercayaan atas kinerja pemerintah. Mereka menyatakan Program 100 Hari SBY-Budiono telah gagal dan hanya omong kosong. Di tempat saya, ada juga program 100 hari. Kegiatan ini biasanya untuk memperingati 100 hari meninggalnya seseorang. Hlo?
Apa hubungannya 100 harinya SBY-Budiono dengan 100 hari yang ada di kampung saya? Tidak ada! Saya hanya merasakan program yang dicanangkan dalam masa pemerintahannya yang kedua itu benar-benar mati. Saya tidak merasakan ‘greng’nya program tersebut. Jika salah satu dari 15 program yang akan dicanangkan adalah terkait dengan listrik, justru yang terjadi adalah bukannya listrik untuk rakyat makin membaik. Yang saya alami, sebagai rakyat jelata, listrik malah jadi byar-pet. Entah sudah berapa kali, saking seringnya saya jadi malas menghitung. Pemadaman bergilir sungguh tidak masuk akal buat saya. Komplain yang disampaikan justru membuat capek dan sakit hati.
Saya tidak suka dan tidak peduli dengan politik, meskipun pernah dipolitisir oleh politikus kelas kampung. Namun melihat, mendengar, dan merasakan negara tercinta ini jadi tidak jelas, saya jadi gatal juga untuk menuliskannya. Saya tahu tulisan ini tidak ada pengaruhnya terhadap pemerintahan, tetapi biarlah, setidaknya suara yang ada dalam hati saya bisa anda dengar. Dan apa yang terjadi sekarang sesuai benar dengan apa yang dulu pernah saya tulis ketika sedang berlangsung kampanye pilihan presiden. Beginilah jadinya bila dipimpin oleh seorang presiden ayam bawang. Makanya, dalam tulisan saya yang terdahulu itu, saya berteriak keras-keras, “SAY NO TO PRESIDEN AYAM BAWANG.” Saking kencengnya, sampai-sampai scammer pengguna huruf kanji pada mengotori halaman komentar tulisan saya itu dengan huruf kanji yang saya tidak tahu artinya.
Barangkali anda juga tahu, Program 100 Harinya SBY-Budiono itu merupakan hasil adopsi dari Program 100 Hari yang pertama kalinya digagas oleh presiden Amerika ke-32, Franklin D. Roosevelt. Kalau program si Roosevelt itu baru bisa tercapai dalam satu tahun, berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh SBY? Apakah satu periode jabatan presiden kemarin belum cukup sehingga perlu Program 100 Hari lanjutan? Barangkali orang-orang yang lagi demo itu merasakan programnya SBY-Budiono seperti Program 100 Hari yang ada di kampung saya. Entahlah.