Dosen Metal

9
1457

dosen metal“Morning.” Jam dinding menunjukkan tepat pukul 14.00 WIB.

“Morning Sir.” Seluruh mahasiswa di ruang kuliah menyambut sapaanku penuh semangat. Saya biasa menyapa kelas yang saya ajar dengan sapaan itu nggak peduli memang betul-betul pagi hari atau bahkan sore sekalipun. Bagi saya, dengan mengucapkan “Morning” atau “Selamat pagi” maka semangat yang selalu dimulai di pagi hari akan terus mengiringi. Dan seluruh mahasiswa saya paham betul kebiasaan saya itu.

Siang ini waktunya mengajar mata kuliah Grammar. Di tangan kiri buku The Heinemann yang mulai kucel saya pegang erat-erat. Tangan kanan saya tidak kosong. Dengannya, gitar listrik kesayangan saya jinjing. Saya sudah bisa menebak reaksi kelas bila saya masuk nanti. Ini pertama kali saya mengajar dengan membawa gitar listrik. Dan dugaaan saya tidak salah. Seluruh mata melotot dengan mulut menganga menyaksikan saya masuk kelas menenteng Fender, salah satu dari sepuluh merek gitar yang paling banyak dipakai di dunia. Yngwie Malmsteen dan Eric Clapton adalah dua di antara gitaris dunia penggunanya.

“Anda tentu bertanya-tanya melihat saya menenteng gitar ke dalam kelas Grammar.”

“Memangnya kita akan belajar main gitar, Sir?” Tanjung mengajukan pertanyaan penuh penasaran. Mahasiswi keturunan Batak ini memang paling berani bicara dan selalu mengajukan pertanyaan bila memang ada yang harus ditanyakan.

“Tidak. Kita akan belajar Grammar sesuai jadwal. Hanya saja, kita akan bersenang-senang sebentar sebelum belajar Conditional Sentences. Setuju?”

“Setujuuuu….” Riuh rendah seluruh kelas menjawab pertanyaan saya.

“Saya akan memainkan beberapa lagu untuk anda.”

“Mauuuuu…” Kembali kelas bergemuruh. Begitu ramai mereka menyambut ajakan tersebut sehingga saya tidak akan heran bila orang-orang yang ada di ruang kelas atau berada di kelas sebelah saling bertanya tentang kegaduhan yang terjadi di kelas saya.

“Tahu lagu Money for Nothing? Penyanyinya Dire Straits.

“Tidaaaaaakkk…”

“Saya paham jika anda tidak kenal dengan lagu ini. Dire Straits memang bukan grup musik jaman sekarang. Dia ada sebelum kalian semua lahir. Money for Nothing merupakan salah satu lagu paling sukses dari album Brothers in Arms yang dirilis grup rock asal Inggris ini pada tahun 1984. Anda pasti lebih kenal Avenged Sevenfold atau Muse. Tapi saya jamin, pasti kalian semua akan suka dengan lagu ini.” Sambil ngobrol dengan mereka, saya menyetel peralatan pendukung yang memang sudah tersedia di ruang kelas tersebut.

Bogor Entrepreneur College tempat saya mengajar memang bukan kampus biasa. Semua ruang kuliah dilengkapi sarana pendukung belajar mengajar. Di langit-langit terdapat LCD panel yang mengarah ke dinding ruangan di sebelah whiteboard. Di atas meja tersedia laptop lengkap dengan speaker aktifnya. Selain itu perlengkapan pendukung alat musik juga ada. Amplifier merek Marshall bisa ditemukan di setiap sudut ruang kuliah. Peralatan terakhir inilah yang saya butuhkan untuk membuat Fender di tangan saya menyalak.

Ruangan kembali bergemuruh dengan tepuk tangan ketika gitar saya coba petik dengan memainkan intro dari Money for Nothing.

“Sabar, sabar, sabar…” Saya tersenyum menyaksikan wajah-wajah penuh kegembiraan di kelas Grammar saya.

Come on, Sir!” Kembali Tanjung bersuara. Nadanya jelas menuntut.

Begitu Fender saya siap, saya tidak mau membuat mereka menunggu.

Enjoy the music, class!”

Jreeeennnngggggg…

Dentuman Fender langsung menyihir seluruh isi ruangan. Tepuk tangan lupa mereka berikan karena begitu terpukau. Raungan Fender membahana berhasil membangun histeria.

Gemuruh dalam kelas kembali terulang begitu hentakan terakhir senar gitar saya lakukan sebagai penutup lagu Money for Nothing. Mereka bertepuk tangan, ada pula yang bersuit-suit.

“Lagi.”

“Lagi.”

“Lagi.”

Sebagai jawaban, gitar kembali saya betot. Kali ini ceracau gitar Carlos Santana dengan Black Magic Woman-nya memenuhi ruangan. Dan efeknya begitu luar biasa. Semua mahasiswa berdiri. Tidak ada satupun yang mau duduk seakan-akan jika menaruh pantat di kursi kegembiraannya akan hilang tertindih. Semua bertepuk tangan mengiringi lagu sambil menggoyangkan badan. Kelas Grammar telah menjelma menjadi stadion konser. Namun mereka tetap terkendali.

Sebenarnya tindakan saya membawa gitar listrik ke dalam ruang kuliah tergolong nekat. Pasalnya direktur yang memimpin Bogor Entrepreneur College bukanlah orang yang gampang menerima hal baru. Cara berpikirnya yang termasuk ‘jadul’ dan konservatif tidak akan begitu saja bisa memahami sistem belajar yang saya gunakan. Bukannya mendapat pujian, bisa-bisa saya dituduh mengajarkan aliran sesat. Namun dugaan itu harus saya buktikan dengan melakukan tindakan. Dengan resiko yang mungkin di luar dugaan, saya mengajak anak didik saya menikmati kegembiraan dalam mata kuliah yang dianggap momok oleh kebanyakan mahasiswa. Jika mata kuliahnya saja sudah dicap mengerikan, apa jadinya bila cara belajarnya juga membosankan?

Siang ini kenekatan itu saya wujudkan. Gitar listrik yang biasa saya pakai jam session setiap malam Minggu di Cikiray Café mengiringi suara indah kakak beradik Suci dan Agis saya boyong ke dalam ruang kuliah. Selama ini, saya memang tidak banyak cerita tentang aktifitas bermusik saya ke mahasiswa angkatan yang sekarang sedang saya ajar. Dengan langsung ‘action’, mereka dengan sendirinya akan tahu kesukaan saya membetot senar gitar. Meski tindakan saya ini beresiko memicu konflik dengan direktur jadul, mahasiswa saya dan kesuksesan mengajar lebih penting. Jika akhirnya nanti saya diminta menghadap dia, saya sudah siapkan argumen untuknya. Argumen saya biasanya bisa membuatnya diam, seperti sebelum-sebelumnya.

Masih segar di ingatan saya karena peristiwa ini baru terjadi minggu kemarin. Marni yang cantik dan bahenol mendatangi saya. Dia adalah sekretaris direktur.

“Maaf pak, pak Richie diminta menemui bapak di ruangannya.”

“Ada perlu apa?”

“Kurang tahu. Saya hanya disuruh memanggil bapak.”

“Baiklah.”

Saya segera masuk ke ruang direktur sambil bertanya-tanya dalam hati.

“Selamat siang pak Brojol. Bapak memanggil saya?”

“Ya. Silakan masuk dan silakan duduk.” Jawabnya sambil mengarahkan tangannya ke sofa.

Satu set sofa mewah berwarna merah tersedia dalam ruang direktur, lima meter dari meja kerjanya yang juga mewah dan besar.

“Terima kasih.” Saya menuju ke arah yang ditunjuk. Pantat saya disambut lembut sofa yang saya duduki. Aahhh… alangkah nyamannya. “Di mana Marni?” Pikiran saya tiba-tiba melantur ngawur.

Pak Brojol segera meletakkan ballpoint yang tadi digunakan mencoret-coret sesuatu. Di depannya terdapat komputer super canggih keluaran terakhir tetapi dalam keadaan mati. Melihat komputer itu saya kembali teringat Marni. Saya pernah secara tidak sengaja mendengar ucapan dia tentang komputer tersebut saat makan siang di warung padang seberang kampus. Karena begitu asyik ngobrol dengan temannya, dia tidak menyadari kehadiran saya.

“Sayang amat komputer mahal seperti itu dianggurin.”

“Komputer yang mana Mar?” tanya Ita.

“Itu Ta yang ada di meja bapak.”

“Semenjak dibeli?” Ita penasaran.

“Pernah dipakai sih… tapi jarang banget. Bapak beli komputer itu kan sebenarnya bukan untuk dipakai tapi sekedar buat penghias dan pengisi meja. Kan memang bapak tidak terlalu bisa pakai komputer?”

“Alamak!”

“Pak Richie…” Tiba-tiba pak Brojol sudah duduk di hadapan saya. Tubuhnya yang subur melesak ke dalam sofa. Kumis lelenya berkibar terkena angin yang tersembur dari dua lubang besar hidungnya. Saya suka kasihan bila melihat dia gampang ngos-ngosan meski hanya berjalan dari meja kerjanya ke sofa yang hanya berjarak lima meter. Mata mungilnya berkedip-kedip di balik kacamata berlensa tebal. Dia menunggu reaksi dari saya.

“Ya pak?”

“Marni sengaja saya suruh memanggil anda karena ada satu hal yang ingin saya tanyakan sekaligus mengkonfirmasi.” Mata mungilnya kembali berkedip-kedip. Kumis lelenya juga berkibar-kibar.

“Apa itu pak?”

“Tentang acara makan bersama mahasiswa di sebuah restoran. Apakah betul pak Richie mengajak mereka makan bareng?”

“Betul. Saya mengundang mereka, delapan mahasiswa tiga mahasiswi, makan siang di Koloria Botani hari Minggu kemarin. Kami sekedar ngobrol sambil makan minum. Ada yang salah dengan itu pak Brojol?”

“Barangkali saya perlu ingatkan lagi ke pak Richie. Kan makan-makan, jalan bareng, ngumpul sama mahasiswa kecuali saat kuliah dilarang?”

Sebenarnya saya sudah dengar larangan tersebut. Ya, saya dengar bukan baca, karena larangan itu tidak saya temukan dalam lembaran Peraturan dan Tata Tertib yang saya terima ketika saya bergabung dengan Bogor Entrepreneur College ini. Tetapi alasan mengapa peraturan itu dibuat saya tidak tahu. Ini kesempatan bagi saya untuk mencari penjelasan.

“Kalau boleh tahu, mengapa dilarang pak?”

Mata pak Brojol tidak mungil lagi dan tidak berkedip-kedip lagi. Matanya menjelma menjadi mata elang dengan sorotan tajam menghujam. Napasnya makin tersengal. Nampaknya dia tidak menyangka dengan pertanyaan yang saya ajukan. Dari sikapnya saya tahu dia mulai terusik.

“Bapak kan dosen sedangkan mereka mahasiswa?” Suaranya mulai meninggi.

“Maaf pak, saya tidak mengerti apa yang bapak maksud.” Saya berusaha tetap tenang dan menjaga nada suara agar tidak ikut terbawa meninggi.

“Pak Richie tidak boleh bergaul terlalu dekat dengan mereka. Bapak harus jaga wibawa. Jika pak Richie mensejajarkan mereka maka mereka nanti akan ngelunjak. Mau dibawa ke mana kewibawaan kita dan institusi ini nanti? Bagaimanapun juga derajat mereka tidak selevel dengan kita para dosen dan staf. Mahasiswa harus diperlakukan sebagai mahasiswa. Mereka mahasiswa kita, bukan teman kita. Jadi mereka tidak boleh menjadi teman dosen atau staf yang ada di bawah kekuasaan saya.”

Pak Brojol mulai menunjukkan sikap otoriternya. Dengan badannya yang gemuk, cocok sekali dia menjadi seorang diktator. Menjadi badut sirkus juga cocok jika melihat kumis lelenya yang sering berkibar-kibar dan mata mungilnya yang terus berkedip-berkedip.

“Pak Richie boleh meninggalkan kampus ini sekarang juga bila tidak setuju dengan peraturan ini. Paham?” Pak Brojol menyambung ucapannya dengan ancaman yang tidak masuk akal.

Saya terheran-heran melihat sikap pak Brojol yang tiba-tiba meledak seperti itu. Apakah pertanyaan sederhana saya tadi begitu tajam baginya sehingga dia bereaksi seperti itu? Menghadapi perkembangan yang terjadi, saya harus berhati-hati menyusun kata.

“Paham pak. Boleh saya menjelaskan?” Saya mengajukan pertanyaan dengan suara serendah mungkin agar diktator di depan saya ini tidak semakin merasa terancam.

“Silakan.” Pak Brojol menyetujui permintaan saya. Suaranya masih tinggi namun tidak seperti sebelumnya.

Keputusan saya dengan bersikap hati-hati ternyata tepat. Saya lihat pak Brojol kembali duduk bersandar setelah tadi duduk tegak penuh waspada sekaligus jaga wibawa. Saya harus bisa memberi kesan segala yang saya lakukan terhadap mahasiswa menguntungkan dirinya. Orang seperti pak Brojol ini pasti senang disanjung-sanjung dan dijilat saat jadi atas seperti saat ini, dan senang menjilat dengan sanjungan-sanjungan bila menjadi bawahan. Saya akan menyanjung dia tetapi tidak untuk menjilat. Saya hanya akan menjinakkan sikap otoriter kerbau bunting ini tanpa membuat dirinya terancam.

“Sebelumnya saya mohon maaf bila yang saya lakukan ternyata tidak berkenan di mata bapak. Saya mengajak mereka makan bukan bermaksud untuk menyamakan derajat seperti yang pak Brojol khawatirkan. Mereka yang saya undang adalah mahasiswa yang memiliki pengaruh di antara teman-teman mereka. Dengan mendekati mereka maka kita bisa lebih mudah menangani mereka tanpa banyak gejolak. Jika sudah demikian, segala peraturan yang bapak terapkan otomatis kecil sekali mengalami penolakan.” Saya menanti tanggapan dari pak Brojol. Dia hanya merespon dengan pertanyaan.

“Ngomong-ngomong, pak Richie sebenarnya tahu nggak sih larangan ini?”

“Saya mengundang mereka makan bukan karena tidak tahu, tetapi untuk memberi kesan kepada mereka bahwa saya tidak tahu larangan yang ini.”

Mata mungil pak Brojol naik turun. Dia berusaha memahami apa yang saya omongkan.

“Jelas saya tahu dan paham larangan ini meskipun, maaf, tidak tertulis di dalam lembar Peraturan & Tata Tertib yang saya terima dulu.” Saya kembali menjelaskan dengan kalimat lain.

Jurus penyanjung selanjutnya yang saya hujamkan ke hati pak Brojol makin membuat dia menggelinjang dan akhirnya takluk, tunduk, dan pasrah dengan rencana saya. Sekarang ini, kegiatan saya berkumpul dengan mahasiswa dianggapnya sebagai perkecualian dari larangan yag berlaku. Saya mendapat privilese (hak istimewa) darinya untuk acara kumpul-kumpul ini karena yang saya lakukan dia lihat sebagai sarana menaikkan derajat dan wibawanya. Selama dia berpikiran seperti itu, saya akan tetap aman dan nyaman duduk bersama para mahasiswa di luar ruang kuliah.

***

Black Magic Woman rupanya semakin membuat kelas Grammar gaduh. Gitar listrik yang saya mainkan menghasilkan suara meliuk-liuk membius kalbu menjadi buluh perindu. Saya tersedu menyaksikan keadaan seperti itu. Lidah kelu mata kuyu hati merindu tak menentu. Halah! Alangkah gembiranya melihat mereka begitu larut dalam hentakan-hentakan senar Fender yang saya kocok-kocok. Saat music berakhir, semua bertepuk tangan. Semua kursi kosong tidak terisi. Mereka lebih suka berdiri sambil bertepuk tangan dan bersuit-suit. Saya mengangkat tangan memberi kode agar semua diam. Seketika kelas menjadi tenang.

“Ok. Sebelum kita mulai belajar, ada satu lagu lagi yang akan saya mainkan. Ini lagu terakhir buat kelas kita. Saya tahu anda tidak ingin berhenti tetapi kita harus belajar Conditional Sentences hari ini. Kita bisa bersenang-senang lagi di lain waktu.” Saya mencoba menjelaskan.

“Yaaachhh… penonton kecewa!” Tanjung mengungkapkan ketidaksukaannya.

Saya hanya tersenyum untuk menghibur mereka.

“Apa kita langsung belajar saja?” Saya pura-pura mengancam.

“Tidaaaakkkk…” Seluruh mahasiswa secara serentak menolak.

“Baiklah. Selamat menikmati lagu terakhir ini.” Jari-jemari saya langsung menari lincah di atas senar. Sebuah intro lagu milik Endank Soekamti saya mainkan.

Saya tahu lagu Audisi adalah lagu favorit kelas ini, dan memang terbukti benar. Semua tidak ada yang duduk. Mereka berdiri membentuk setengah lingkaran menghadapi saya sambil menggoyangkan badan hingga lagu berakhir. Luar biasa. Energi kelas telah membuncah. Saya tahu, mereka sekarang sangat siap belajar Grammar.

“Tok-tok-tok…” Tiba-tiba pintu kelas diketuk seseorang.

Pintu saya buka. Di luar telah berdiri Marni.

“Maaf, pak Richie diminta ke ruang bapak setelah ini.”

“Baik. Terima kasih.” Saya menjawab sambil tersenyum.

***

Sebagaimana yang sudah saya perkirakan, aksi saya membawa gitar listrik ke kelas Grammar dianggap sebagai penyimpangan. Bagi pak Brojol, yang dibawa mengajar seharusnya ya buku dan alat tulis, bukan benda-benda aneh semacam gitar listrik. Karena itulah, dia merasa wajib memanggil saya untuk mempertanggung jawabkannya. Ketika menghadap dia, saya sudah siap dengan sebuah penjelasan. Seperti biasanya, dia bagai kerbau dicocok hidungnya. Pak Brojol hanya bisa mengangguk-angguk atas semua penjelasan yang saya berikan. Bukannya menganggap enteng dia, tetapi seperti itulah kualitas seorang pemimpin yang diangkat karena kedekatan dengan penguasa ditambah kepandaiannya dalam menjilat. Kebesaran jabatan dan badannya tidak sebanding dengan otak kerdil dan kreatifitas yang dia miliki.

Semenjak peristiwa kelas Grammar itu, julukan baru diberikan kepada saya, Dosen Metal.

***

Sumber gambar: di sini
Sumber video: youtube.com

9 COMMENTS

  1. @sucie: sekarang mestinya sudah enjoy dg pekerjaannya ya 😉
    @Thianz: makasih senyumannya 😉
    @Rizha: pak Brojol punya sisi baik kok, sama spt semua manusia pada umumnya… kelanjutan cerita ini tentang pak Brojol yg saat ini sedang ditulis… mudah2an bisa selesai segera :mrgreen:

  2. wew…. cerita yang bagus,
    Ternyata Pak Brojol senang di jilat2 ya.. hhhe.

    Betul setuju dengan mam Ucie, janganlah suka membawa2 kasta/jabatan dalam berbagi ilmu, karena kita semwnya sama.

    hhhee. ..mengenai main gitar+bernyanyi di kelas rupanya pak Brojol dan bu Marni tidak mengetahui bahwa hari ini kita akan belajar sesuatu hal yang berbeda,,, ckckckc… seperti itulah pemikiran robot2 berotak kerdil..jaman sekarang… hiks..hiks…

    saya suka tulisan bapak…

  3. tulisan Wongkamfung hampir semua saya suka. tp seperti saya harus memilih dosen metal ini jd yang paling saya suka..

    saya gk mau komen panjang2 seperti ibu yg sbelum saya. takut gak selevel. hehe cukup saja semua hal yg ingin sampaikan tentg tlisan bpak ini, saya sampaikan lewat sebuah senyuman anak didik ini. 🙂

  4. hmmmm…. tulisannya keren sekali deh pak… sy inget kalo dulu sy suka menyama2kan derajat dgn para mahasiswa… saat sy bekerja di lembaga pendidikan tersebut sy tidak eungeuh kalau ternyata itu dilarang yaakk… hahaha…
    sy juga pernah tuh minta murid2 untuk bawa gitar di kelas dan belajar translation dan listening melalui lagu, terus saya bikin teater dll supaya mahasiswa tambah semangat dan bisa mengembangkan bakat, tp wktu itu juga sy ga engeuh kalo ternyata sang direktur mungkin tidak suka… hahaha…. saya pikir tidak ada bedanya guru sama murid, toh sama2 belajar, sama2 makan nasi, sama2 banyak ngga taunya dalam banyak hal… lebih enak ketika murid juga tdk hanya menganggap kita sebagai guru, tapi sahabat, kakak dan teman baik, dngan begitu akan lebih mudah bagi mereka untuk menyerap apa yg kita ajarkan. mungkin banyak petinggi2 yg tidak setuju dgn pendapat saya… tapi sy tdk perduli. sampai sekarang sy tetap berpikir dan mengajar sperti itu. Bersyukur bos saya sekarang beda sama direktur yang dulu, sekarang atasan saya malah sering minta saya untuk lebih kreatif lagi dalam mengajar… sayang tenaga saya sudah banyak tercurah di lembaga pendidikan deket cikiray kafe, jadi sekarang tinggal capenya… ;(

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here